Di ujung inilah potongan Maldives itu terjatuh, perpaduan antara pasir pantai yang halus macam terigu, pohon-pohon tepi pantai yang menghijau, batu-batu granit, pulau-pulau kecil, dan yang paling menakjubkan tentu saja air lautnya yang bening dan berkilau manakala ditatap matahari sore itu.
Semula, tidak ada yang istimewa dengan Pulau Belitung, termasuk bagi kami yang tinggal di Pulau Bangka, saudara kandung pulau itu. Pulau yang sunyi, sepi, perkampungan orang Melayu dengan rumahnya yang khas, jalanan yang lengang adalah sebagian gambaran sederhana tentang Pulau Belitung masa silam. Singkat cerita, tak banyak orang yang terarik untuk datang, apalagi sampai berlama-lama di Pulau Belitung.
Cerita tentangnya menjadi berbeda ketika perjuangan anak-anak Pulau Belitung di novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sukses dialihwujudkan dalam bentuk film oleh duo kribo Riri Riza dan Mira Lesmana. Potongan-potongan adegan yang memamerkan keindahan beberapa pantai dengan batu-batu granit raksasa di pulau itu serta airnya yang jernih macam kaca, mengundang para pelacondong untuk segera datang menyambanginya. Pulau Belitung lantah berbenah diri. Pulau Belitung tak ubah macam seorang bidadari yang terjaga dari tidurnya yang panjang.




Sekalipun sudah telampau sering saya menginjakkan kaki di Pulau Belitung, tapi pulau ini selalu menarik untuk selalu dinikmati. Apalagi, setelah sektor pariwisata berkembang begitu cepat di sini, ditambah pula Pulau Belitung ditetapkan sebagai salah satu dari program “10 Balu Baru” oleh Kementerian Pariwisata. Bandar udara langsung diubah statusnya menjadi bandar udara internasional, rumah makan dan terutama hotel sudah macam ilalang tumbuh dengan cepatnya di hampir setiap sudut Pulau Belitung, tak terkecuali di kawasan Pantai Tanjung Kelayang yang ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata. Inilah pantai yang paling saya sukai di sana.
Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama tak bertandang ke Pulau Belitung, Pak Dwi Haryadi, dosen yang kini menjadi rekan kerja di tempat saya menimba ilmu jenjang strata satu itu bercerita bahwa ia akan ke Pulau Belitung. Ada acara di sebuah instansi pemerintah, begitu katanya.
“Kapan?” antusias saya bertanya.
“Beberapa minggu kemudian, tak lama lagi,” jawab Pak Dwi Haryadi seraya menyebutkan tanggalnya.
“Baiklah, saya ikut, sudah lama tak nganyau (bahasa orang Belitung yang artinya kurang lebih pergi ke sebuah tempat) ke sana. Rindu juga dengan kampung halaman ayah itu,” kataku kemudian.
Hari yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Kami pun berangkat ke Pulau Belitung dari Bandar Udara Depati Amir Pangkalpinang di Bangka menuju Bandar Udara Internasional HAS Hanandjoedin Tanjung Pandan di Pulau Belitung. Dari Pulau Bangka, ada dua pilihan transportasi menuju Pulau Belitung. Pertama, dengan menumpang sebuah kapal dari Pelabuhan Pangkal Balam menuju Pelabuhan Laskar Pelangi di Tanjung Pandan dengan harga kurang lebih Rp. 200.000/ orang, dengan waktu perjalanan kurang lebih 4-5 jam. Selain dari Pelabuhan Pangkal Balam, dapat pula dengan kapal roro dari Pelabuhan Sadai di Bangka Selatan menuju Pelabuhan Tanjung Ru di Pulau Belitung dengan harga tiket yang jauh lebih murah, yakni sekitar Rp. 100.000/ orang, waktu tempuh sekitar 12 jam.
Lalu, paling cepat melalui udara seperti yang kami lakukan hari itu. Sampai kini, ada 4 kali penerbangan dari Pulau Bangka ke Pulau belitung yang dioperasikan oleh beragam maskapai penerbangan, milik pemerintah maupun swasta, begitupula sebaliknya, dengan harga tiket rata-rata Rp. 300.000/ orang, waktu tempuh hanya 30 menit saja. Selain dari Pulau Bangka, untuk datang ke Pulau Belitung pun bisa langsung dari Bandara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng, atau dari Palembang, Batam, dan Pontianak dengan terlebih dahulu transit di Pulau Bangka. Dari Jakarta, ada belasan penerbangan setiap hari, dengan harta tiket paling murah sekitar Rp. 400.000/ orang, wakt tempuh kurang lebih 1 jam. Beginilah kira-kira soal transportasi menuju Negeri Laskar Pelangi.
Hari pertama, kami langsung menuju Manggar di Belitung Timur, Kota 1001 Warung Kopi, lalu menginap di rumah mertua Pak Dwi Haryadi. Menjelang siang keesokan harinya, kami langsung balik menuju Tanjung Pandan, tempat berlangsungnya acara. Sementara Pak Dwi Haryadi di tempat acara, saya mencari hotel untuk menginap malamnya. Melalui sebuah aplikasi, dapatlah hotel budget tak jauh dari Bundaran Tugu Batu Satam dengan harga kurang lebih Rp. 400.000/ malam.Soal tempat menginap, tak usah terlalu risau, karena kini di Pulau Belitung tersedia banyak tempat menginap, dari homestay, hotel kelas melati hingga yang berbintang-bintang.
Setelah selesai dengan urusan tempat menginap, seraya menunggu Pak Dwi Haryadi saya sempat mengitari Tanjung Pandan. Kota kecil ini mulai maju. Sesekali, saya melihat-lihat jam yang melilit di pergelangan tangan sebelah kiri. “Sepertinya masih sempat kalau saya pergi ke Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi,” saya berkata dalam hari. Setelah berpikir sejenak, seorang diri menuju Pantai Tanjung Kelayang dengan sebuah mobil yang kami sewa beberapa hari yang lalu saat tiba di Pulau Belitung. Dari pusat Kota Tanjung Pandan, setelah beberapa kali berbelok, tibalah saya di ruas Jalan Pattimura. Dari sinilah saya langsung menuju Sijuk, kecamatan yang menjadi lokasi Pantai Tanjung Kelayang.
Bila tidak menggunakan jasa agent travel, saat melancong di Pulau Belitung hendaknya memang harus menyewa mobil agar leluasa mendatangi tempat-tempat wisata yang ada di Pulau Belitung. Harap maklum, transportasi umum belum terlalu tersedia dari tempat wisata ke tempat wisata yang lain. Harga sewa hanya sekitar Rp 250.000/ hari, tentu saja belum termasuk bahan bakar dan sopir. Bila ingin menggunakan jasa sopir, harga sedikit berbeda. Tempat sewa mobil pun mudah dijumpai, salah satunya bisa ditemui di bandar udara.
Hari itu, suasana jalan agak sepi. Bukan hari libur, Belitung tampak lengang. Hari itu, tak terlalu banyak wisatawan yang datang ke Negeri Laskar Pelangi ini. Hanya ada beberapa bus pariwisata yang melintas, tak macam Pulau Belitung di penghujung pekan yang selalu dipadati wisatawan yang melancong ke pulau ini. Hanya bagi saya, suasana macam inilah yang justru saya suka dari Pulau Belitung. Suasana Pulau Belitung yang saya rasakan tahun 2007 silam, saat kali pertama menginjakkan kaki di tempat ayah dibesarkan ini.
Melewati beberapa ruas jalan menuju Pantai Tanjung Kelayang, yang juga menjadi jalan yang sama menuju Pantai Tanjung Tinggi, pikiran saya langsung terlempar pada beberapa tahun sebelumnya; saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Belitung kurang lebih 10 tahun yang lalu saat Pulau Belitung masih sunyi, lalu saat datang untuk waktu-waktu pertama kalinya untuk menengok pantai-pantai yang mulai terkenal beberapa tahun setelahnya seiring booming Laskar Pelangi, lalu saat saya bersama kawan-kawan dari detikcom dan para Laskar Gerhana menyaksikan secara langsung peristiwa Gerhana Matahari Total awal tahun 2016 silam. Sekarang, saya akan kembali mengunjungi pantai-panti itu.
Sepanjang perjalanan, di sisi kanan dan kiri saya begitu menikmati rumah-rumah masyarakat Pulau Belitung sangat Melayu. Sebagian besar rumah-rumah itu masih orisinil, persis seperti rumah Bu Muslimah di film Laskar Pelangi. Inilah salah satu daya tarik Pulau Belitung bagi saya. Setelahnya, yang saya saksikan ada hutan belukar yang membatasi antara desa satu dengan desa yang lainnya lagi. Selang tak berapa lama, sekitar 30 menit, tibalah saya di Pulau Belitung. Hmmmh, saya turun seraya senyum-senyum sendiri, melihat-lihat sekilas pantai yang sudah lumayan lama rasanya tidak saya datangi. Dan, pantai ini tetap dan akan selalu mempesona. Airnya yang jernih seolah berkata,”Inilah potongan Maldives di Pulau Belitung!”
Perlahan, saya melangkahkan kaki menyusuri Pantai Tanjung Kelayang. Sebuah bangunan yang dulu dibangun menyambut Sail Wakatobi-Belitung 2011 masih kokoh berdiri, berhadapan dengan tulisan raksasa menjulang tinggi “Welcome to Belitong”. Di sebelah tulisan itu, terhampar laut Pantai Tanjung Kelayang yang bersih, bersambung langsung dengan perairang Selat Gaspar, selat yang memisahkan antara Pulau Belitung dan Pulang Bangka nun jauh di sana. Perahu-perahu nelayan terombang-ambing disapu gelombang yang pun bergerak pelan, sebuah jembatan yang menjorok ke tengah laut, dan angin sepoi-sepoi yang ikut bertiu perlahan, membuat suasana semakin nyaman.
Memanfaatkan sisa waktu, saya mulai menyusuri Pantai Tanjung Kelayang langkah demi langkah. Ombak pelan-pelan mencumbu bibir pantai dengan mesra. Burung camar laut sesekali mengepakkan sayapnya terbang entah kemana. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi. Sisa-sisa bangunan yang tidak usai dibangun sejak dulu pun masih ada. Penginapan-penginapan yang sudah ada sejak lama masih kokoh berdiri, siap menerima tamu yang ingin menginap seraya menikmati cantiknya Pantai Tanjung Kelayang. Warung-warung menjajakan aneka rupa makanan khas Pulau Belitung, termasuk gangan, kuliner paling khas di sini. Oh ya, tidak ada biaya masuk untuk bisa menikmati potongan Maldives di Pulau Belitung ini, kecuali biaya parkir yang bisa saja diminta. Itu pun kadang-kadang.
Seraya mengabadikan Pantai Tanjung Kelayang dalam bidikan kamera sederhana yang saya miliki, saya berjalan sampai ke ujung. Di ujung inilah potongan Maldives itu terjatuh, perpaduan antara pasir pantai yang halus macam terigu, pohon-pohon tepi pantai yang menghijau, batu-batu granit, pulau-pulau kecil, dan yang paling menakjupkan tentu saja air lautnya yang bening dan berkilau manakala ditatap matahari sore itu. Sementara tak jauh di seberang sana, ada Pulau Batu Garuda yang khas karena bentunya menerupai burung garuda, lambang negara tercinta ini.
Lalu ada Pulau Kelayang yang di dalamnya ada gua dengan nama yang sama, Gua Kelayang. Di sebelahnya, ada Pulau Kepayang yang menjadi tempat konservasi penyu. Nun jauh di sana, terlihat pulau Pulau Babi, salah satu pulau yang akan kita lewati saat hendak menuju Pulau Batu Belayar atau Pulau Lengkuas yang melegenda. Saya pun meloncat dari batu granit ke batu granit yang lain. Ah, Pulau Belitung betul-betul menyajikan paket wisata bahari yang lengkap. Sore itu, semua rindu tentang Pulau Belitung sedikit terobati.
Bagaimana, menarik sekali bukan Pantai Tanjung Kelayang? Nah, bagi siapa pun yang barangkali belum tersampaikan hasratnya menginjakkan kaki di Maldive, kepulauan kecil di Samudera Hindra yang tersohor keindahan baharinya itu ke seluruh penjuru dunia, datanglah ke Pulau Belitung. Di sini ada Pantai Tanjung Kelayang, potongan Maldives yang jauh ke Indonesia. Istilah ini bukan saya yang menyematkannya, tapi pernah diucapkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya! Salam pariwisata!