Salah satu destinasi wisata yang asyik didatangi adalah Belitung. Alamnya indah, kulinernya enak, dan liburan ke sana pun terjangkau.
Bahagialah karena butuh bahagia, bukan karena orang lain. Itulah yang saya pahami dan juga sebagai dasar untuk memantapkan rencana perjalanan ini. Sudah beberapa orang saya bujuk untuk mau menjadi rekan, tapi setelah berbagai pertimbangan yang mereka kalkulasi, akhirnya tidak ada satupun yang bisa mendapat privilese kesempatan seperti saya. dengan sedikit riset dan lebih banyak nekat, maka saya mantapkan untuk melakukan solo backpacking saya yang pertama.
Tiket.com bisa dikatakan lebih dari sangat membantu. Tiket pesawat dan penginapan telah didapat dalam hitungan menit, tentu saja setelah menentukan waktu yang pas sebelumnya. Promo yang diberikan Tiket.com juga membuat biaya akomodasi yang tidak terlalu mahal, menjadi semakin murah.
Saya berangkat dari CGK sekitar jam 10 pagi dan sampai di Bandara H.A.S Hanandjoeddin, Belitung selepas dzuhur. Setelah salat, saya berjalan kaki keluar area bandara untuk mencari angkutan umum. Ternyata sulit menemukan angkutan umum di sana. Tapi jangan khawatir, orang Belitung ramah-ramah kok. Jangan ragu menggunakan jempol, maka kamu akan sampai ke pusat kota Tanjung Pandan. Bilang saja mau ke Tugu Batu Satam, yang merupakan ikon Kabupaten Belitung.
Di sana mulai banyak ojek daring, saya pesan satu untuk menuju ke penginapan. Lumayan nyaman penginapan model hostel yang saya tempati. Karena sepi, serasa semua milik sendiri. Sore harinya, dengan motor sewa dari penginapan, saya menghabiskan waktu di pantai Tanjung Pendam. Matahari yang melambai tepat sekali sebagai penutup hari.
Keesokan harinya, masih dengan motor sewaan yang sama saya menuju pantai Tanjung Kelayang untuk island hoping. Sarapan dengan mi goreng dan nasi di hostel sudah cukup sebagai bekal perjalanan. Tapi sebelumnya saya membeli roti, kan serangan lapar kerap datang mendadak.
Belum terlalu siang sampai di Pantai Tanjung Kelayang. Saya mencoba bertanya ke salah satu nahkoda perahu untuk island hoping. Harga yang dipatok 400 ribu rupiah untuk satu perahu. Karena terlalu mahal, saya urungkan untuk menyewa perahu.
Saat jalan-jalan di pantai, ada 3 orang yang barusan naik perahu, saya berasumsi jika mereka akan island hoping. Langsung saja saya tanya bolehkah saya ikut mereka, nanti biar biaya patungannya bisa dibagi berempat, mereka bertiga ditambah dengan saya. Mungkin inilah rejeki, tambah teman baru dan mereka pun mengiyakan, jadilah saya berlayar hari itu, yeay!
Banyak pulau yang disinggahi, namun yang paling memukau adalah Pulau Lengkuas. Dengan mercusuar yang gagah berdiri sejak tahun 1883, pulau ini kelihatan mencolok dari kejauhan dibanding pulau lainnya. Pas sekali digunakan untuk foto pre wedding, itulah kesan saya saat mengamati dua sejoli tengah seru berfoto-foto dengan si perempuan menggunakan gaun pengantin.
Setelah berlayar, saya menuju Pantai Tanjung Tinggi. Seketika kenangan menonton film ‘Laskar Pelangi’ waktu remaja seakan diputar di depan mata. Saya menyusuri celah-celah bebatuan yang besar, bulat, dan halus seperti Lintang dan teman-temannya. Namun sayang, tidak lama kemudian hujan cukup deras membuat saya harus berteduh.
Leebong Island, Serpihan Surga di Pesisir Belitung
Hujan perlahan reda, saya momotoran lagi dan melanjutkan perjalanan ke danau Kaolin. Warna airnya yang begitu biru indah hampir tidak dapat dipersamakan dengan warna lain di bumi ini, yang terdekat mungkin warna biru jersey kiper Juventus tahun 2017/2018. Beberapa waktu saya habiskan di sana, sebelum kembali ke penginapan.
Malam hari, waktunya kulineran. Saya ingin makan mie Belitung, dan yang terkenal adalah mie Atep. Namun karena tutup, saya makan di warung mie Belitung yang lain, yaitu mie Acin. Rasanya enak, dan menurut si pemilik kedai, orang Belitung lebih suka mie Acin daripada mie Atep. Perut kenyang, waktunya tidur untuk persiapan perjalanan jauh ke Belitung Timur esok hari.
Saat itu hari Jumat, hari yang relatif cukup pendek. Pagi sekali setelah subuh saat langit masih gelap saya harus menembus sejuknya Belitung. Jadwal pesawat yang menunggu mengantar saya kembali ke Jakarta memaksa saya untuk tidak terlena dengan keasrian Belitung, dan memaksa saya bergegas menyelesaikan jadwal perjalanan ini. Cukuplah sarapan roti, langsung saya tancap gas.
Lepas dari kota memasuki jalanan dengan pepohonan yang cukup rimbun di kanan kirinya. Saya berandai-andai apakah ini jalan yang harus ditempuh Lintang saat bersekolah dulu? Sesekali ada tupai yang menyeberang, bahkan ada seekor monyet tertegun di pinggir jalan menatap saya yang sedang melaju santai. Mungkin dia heran, bagaimana bisa seseorang melaju perlahan di jalanan yang lengang dan lebar ini.
Tujuan utama saya di Belitung Timur adalah replika sekolah Muhammadiyah Gantong dan Museum Kata Andrea Hirata. Karena terlalu pagi, area replika sekolah masih belum buka, namun masih bisa diakses. Saya berunutng bisa menikmati semua sendirian. Saya bisa dengan nikmat dan teliti mengamati tiap jengkal bangunan dari kayu tersebut. Bahkan kayu penyangga yang didirikan warga kampung seperti di film juga ada di situ.
Berikutnya adalah Museum Kata Andrea Hirata. Bangunannya tampak cantik dari luar. Warna-warni yang kontras namun enak dipandang membuat museum itu tidak sulit ditemukan. Tapi sayangnya hari itu libur, jadi saya belum beruntung untuk melihat ke dalam. Sebenarnya ada juga Rumah Ahok, namun waktu yang mepet, membuat saya harus segera kembali ke Tanjung Pandan yang membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah.
Sepertinya energi dari roti pagi tadi sudah hampir habis, untung saja ada rumah makan padang. Berbarengan dengan warga sekitar yang akan pergi ke sawah, saya makan dengan lauk yang seadanya. Tampaknya warung itu baru saja buka. Yang menarik saat itu terdapat barisan anak-anak sekolah dasar yang berjalan kaki sambil menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’ dari Nidji. Tampaknya Laskar Pelangi membawa dampak perubahan signifikan di pulau Belitung. Semangat dari film yang diputar satu dekade lalu, masih terasa dan terus dijaga hingga kini oleh warga Belitung.
Sebelum mengembalikan motor sewaan, saya mampir kembali ke pantai Tanjung Tinggi dan danau Kaolin. Suasana hari yang cerah seakan menyibakkan keanggunan kedua tempat itu yang sempat tertutupi oleh mendung di hari sebelumnya. Akhirnya saya bisa pulang dengan tenang.
Dari Kota Tanjung Pandan untuk mencapai bandara, saya ‘menumpang’ bus Damri. Saya anggap menumpang karena tidak ada trayek khusus dari kota ke bandara, bayar seikhlasnya saja. Memang tidak salah kalo menyebut orang Belitung ramah-ramah dan baik hati. Tapi sebelum berangkat, saya mencoba mie Atep yang kebetulan berada di sekitar halte bis Damri. Menerka-nerka perihal apa yang membuat mie ini terkenal. Namun setelah mencicipi mi Atep kesimpulan saya berbeda dari kebanyakan orang dari luar Belitung dan cenderung menyutujui penduduk asli Belitung. Mie Acin lebih enak!
Sampai bandara saya menunggu beberapa jam sampai pesawat telah siap. Sambil menunggu jadwal penerbangan saya kembali mengingat perjalanan beberapa hari kebelakang. Impian saya menyambangi Belitung saat nonton film ‘Laskar Pelangi’ dulu tercapai sudah. Sampai akhirnya semua lamunan itu dibuyarkan oleh pemberitahuan bahwa pesawat saya akan berangkat sesuai jadwal. Sore harinya saya sudah berada di Jakarta lagi dengan selamat.
Begitulah perjalan solo backpacker saya yang pertama di Belitung selama tiga hari dua malam. Kalau ada kesempatan, bisa jadi Belitung merupakan pilihan yang tepat untuk short escape. Cukup dengan sekitar 30% dari UMR Jakarta tahun 2020, kita bisa merasakan keindahan Belitung. Harga yang cukup terjangkau untuk sebuah kepingan surga bukan?